Tumbang Anoi – adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, berjarak sekitar 300 kilometer arah utara Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah.

Tumbang Anoi menjadi tempat yang bersejarah bagi Suku Dayak karena di tempat itulah digelar Rapat Damai Suku Dayak pada tanggal 22 Mei s/d 24 Juli 1894. Saat itu, rapat akbar tersebut dihadiri sekitar 1.000 orang dari 152 suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan yang mencakup wilayah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Rapat itu, antara lain menghasilkan kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian sesama suku Dayak dan tradisi “mengayau” atau memenggal kepala manusia. Dengan adanya perjanjian itu maka terjalinlah persatuan dan persaudaraan antar suku-suku Dayak yang dulunya saling bermusuhan satu sama lain.

Kampung Tumbang Anoi pada Tahun 1894 (Koleksi Tropenmuseum)
Latar Belakang
Pada jaman dahulu, “Hakayau” atau “Ngayau” merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan. Para “penjelajah dan akademisi asing” mencatat bahwa Suku Dayak Iban dan Suku Dayak Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau, yaitu memenggal dan membawa pulang kepala musuh. Sementara bagi Suku Dayak Ngaju,di Kalimantan Tengah tradisi ngayau selain terjadi di saat peperangan, ngayau juga dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan “Tiwah”, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh. Dalam pelaksanaan Tiwah, kepala hasil ngayau ditanam di bawah tiang “Sapundu”, diyakini bahwa di langit ke tujuh roh atau jiwa pemilik kepala itu akan menjadi “jipen” atau pelayan bagi jiwa yang ditiwahkan.

Kondisi semakin diperparah dengan adanya sengketa perebutan lokasi menyadap getah nyatu antara Suku Dayak Ngaju dari sungai Kahayan dengan Suku Dayak Kenyah dari sungai Mahakam, yang kebetulan lokasinya berada di perbatasan wilayah kedua suku tersebut, yaitu di Puruk Ayau dan Puruk Sandah. Sengketa ini memicu perang dan saling kayau antar kedua suku yang dikenal dengan peristiwa “Kayau 100”.

Hasil dan Keputusan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi
Berikut adalah hasil keputusan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi Tahun 1894 yang diringkas menjadi sembilan butir keputusan penting (Sejarah Kabupaten Kapuas, 1981, hal. 33-34), yaitu:
1
Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda;
2
Menghentikan kebiasaan perang antar sukudanantardesa
3
Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga;
4
Menghentikan kebiasaan adat mangayau;
5
Menghentikan kebiasaan adat perbudakan;
6
Pihak Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalam lingkup pemerintahan lokal tradisional mereka;
7
Penyeragaman hukum adat antar suku;
8
Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu  pemukiman tertentu;
9
Mentaati berlakunya penyelesaian sengketa antar penduduk maupun antar kelompok yang diputuskan  oleh Rapat Adat Besar yang khusus diselenggarakan selama  Rapat Damai ini berlangsung.
Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dalam suatu upacara di depan rumah Damang Batu. Sehari kemudian, yaitu pada tanggal 25 Juli 1894, semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan SUMPAH PERDAMAIAN, bahwa mereka selanjutnya dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya untuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.

Meskipun “terselip” kepentingan pihak pemerintah Hindia Belanda sebagaimana poin 1keputusan rapat tersebut, termasuk ide untuk bersumpah siap membantu pemerintah Hindia Belanda, bagi Suku Dayak, hasil Rapat Damai Tumbang Anoi itu sangat penting, karena sejak saat itulah disepakati untuk menghentikan segala perselisihan dan permusuhan di antara sesama suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan.